TUGAS
SEJARAH KEBUDAYAAN
SEJARAH PURA BUKIT SINUNGGAL
DOSEN: I Ketut Mardika
NAMA: NIM:
I Wayan
Juniarta II.I.I.I.I.453
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA DENPASAR
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadapan
Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya makalah yang berjudul “Sejarah
Pura Bukit Sinunggal” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
disusun dengan sangat sederhana karena dalam penyusunannya dalam waktu yang
relatif singkat. Sesuai dengan pepatah “Tiada gading yang tak retak“ maka dari
itu, atas kekurangan – kekurangan yang ada maka penulis harapkan para pembaca
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga nantinya makalah ini
dapat semakin sempurna.
Gianyar, mei
2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Judul
..............................................................................................................
Kata Pengantar .................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................... 2
1.3. Tujuan
Penulisan............................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN.................................................................. 3
2.1. Sejarah Pura Bukit Sinunggal........................................................ 3
2.2. Kerajaan Bedahulu atau Bedulu..................................................... 4
2.3. sisa-sisa
peninggalan kerajaan bedahulu........................................ 5
2.4.pura bukit
sinunggal........................................................................ 6
BAB III. PENUTUP
.......................................................................... 10
3.1. Kesimpulan
................................................................................... 10
3.2. saran............................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejarah merupakan suatu hal yang
riil dimana secara pengertian sempitnya sejarah itu sudah terjadi dan bahkan
terlewatkan. Yang menurut R. Moh Ali sejarah ada 3 pengertian, yaitu Sejarah
adalah kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa seluruhnya yang berkaitan dengan
kehidupan manusia, Sejarah adalah cerita yang tersusun secara sistematis (serba
teratur dan rapi),dan Sejarah adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan
peristiwa dan kejadian-kejadian pada masa lampau.
Dari keseluruhan itu dapat
disimpulkan sejarah itu ialah suatu kejadian–kejadian ataupun peristiwa pada
masa lampau yang berkaitan dengan kehidupan manusia, dan tersusun secara sistematis.
Sejarah dapat meninggalkan sesuatu baik benda, bangunan atapun semacamnya yang
biasa disebut peninggalan sejarah. Dimana peninggalan sejarah perlu dijaga dan
dilestarikan agar generasi anak cucu dapat melihat ataupun menelitinya. Apalagi
peninggalan sejarah itu merupakan sejarah lokal yang sering kita dengar, sering
kita kunjungi atau datangi dan sebagainya.
Sehingga atas dasar itu penulis
menulis makalah ini selain merupakan tugas pribadi dari Guru mata pelajaran
Sejarah yang menugaskan siswa X agar menulis makalah yang bertemakan sejarah
lokal. Yang bertujuan agar para siswa bisa mengetahui, mengamati, menjaga serta
melestarikannya. Selain itu mungkin para siswa juga bisa mengamalkannya kepada
masyarakat agar masyarakat sekitar kita mengetahui lebih detail tentang
peninggalan sejarah tersebut. Sehingga bersama masyarakat juga para siswa dapat
menjaga kelestarian peninggalan sejarah tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Pada pembuatan makalah ini yang
berjudul “Sejarah Pura Bukit
Sinunggal” memiliki berbagai masalah yang akan di bahas dalam pembahasan ini,
yaitu :
1. Bagaimana
Sejarah Pura Bukit Sinunggal ?
2. Masa
kerajaan apakan yang mendirikan Pura tersebut ?
3. Bagaimana
keadaan fisik lingkungan dari Pura Bukit Sinunggal ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini selain untuk persyaratan tugas dari Guru Sejarah tentang sejarah lokal yang
dibebankan kepada penulis antara lain :
1. Untuk
mengetahui sejarah Pura Bukit Sinunggal.
2. Untuk
mengetahui masa kerajaan pendiri dari pura tersebut.
3. Untuk
mengetahui keadaan fisik lingkungan dari Pura Bukit Sinunggal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pura Bukit Sinunggal
Pura Pucak
Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali
Utara, Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Menurut sejarahnya yang
dalam buku “Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti” disusun Ketut Ginarsa, Balai
Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi
milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu. Secara
administratif Pura bukit sununggal terletak di desa tajun, kecamatan kubu
tambahan, kebupaten buleleng. Seperti
namanya, Pura ini terletak di sebuah bukit dengan pemandangan yang asri yang
dikenal dengan bukit sinunggal.
Untuk sampai di lokasi pura bukit sinunggal, kita dapat melalui jalur
denpasar –kintamani, pucak penulisan melewati desa dausa menuju ke desa tajun.
Jarak pura dari kota Buleleng kurang lebih 30 km dan dari kota denpasar kurang
lebih 98 km.Pura ini dulunya bernama hyang bukit tunggal namun masyarakat biasa
menyebutkan dengan pura bulit sinunggal. Sebelumnya mandala pura ini cukup
sempit dengan pelinggih pelinggih yang sederhana, setelah didakan beberapa
pemugaran kini pura tampak indah dan asri.
Dalam sejarahnya
disebutkan bahwa pada abad ke 5 ida bhatara sudah melingga di pura ini yang
konon hadir dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu
Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu. Didalam prasasti
hyang bukit tunggal juga disebutkan bahwa pura bukit sinunggal dulunya
disungsung oleh raja raja dari seluruh bali.
Dimana
sebenarnya Pura ini merupakan salah satu sisa-sisa peninggalan Kerajaan
Bedahulu. Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914,
Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa
Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini disebut Desa Depaa. Sedangkan
yang memelihara Pura Bukit Tunggal itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu
terdapat tokoh-tokoh masing-masing Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra
dan Tri.
Keempat
tokoh masyarakat itu berpangkat Ser Tunggalan, Lampuran. Mereka bertugas
mempersatukan masyarakat desa serta melaporkan keadaan dan peristiwa yang
terdapat di Desa Air Tabar dan sekitar Pura Bukit Tunggal kepada Sri Paduka
Raja Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa. Pada saat itu Istana
Singhamandawa terletak di antara Desa Bedulu dan Desa Pejeng sekarang.
Sesuai
peraturan adat zaman dulu, letak desa pengemong ada di sebelah utara Pura Bukit
Tunggal itu. Seperti halnya desa kecil lainnya yang masuk dalam wilayah Desa
Julah, Desa Air Tabar juga sering didatangi perampok. Untuk menjaga keamanan,
masyarakat desa itu berpindah tempat menuju ke selatan Pura Bukit Tunggal. Di
sana mereka membangun desa baru yang disebut Desa Tanjung. Lama-kelamaan
menjadi Desa Tajun atau Tetajun.
2.2 Kerajaan Bedahulu atau Bedulu
Pura Bukit Sinunggal merupakan salah
satu peninggalan sejarah dimana diperkirakan pura ini ada pada masa dimana
sebuah kerajaan yang bernama “Kerajaan Bedahulu” berkembang dan mencapai
kejayaannya.
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah
kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki
pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar,
Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti
Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang
ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343, yang dipimpin oleh Gajah Mada,
namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar
padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil
dikalahkan tahun 1347.
Setelah itu Gajah Mada menempatkan
seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja
(Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari
menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
Untuk mengetahui lebih lanjut
perkembangan kerajaan ini dipimpin oleh raja-raja yang turun temurun melaksanakan
dan memerintah kerajaan Bedulu atau Bedahulu.
Berikut Raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Bedulu atau Bedahulu :
1. Sri Wira
Dalem Kesari Warmadewa – (882-913)
2. Sri
Ugrasena – (915-939)
3. Agni
4.
Tabanendra Warmadewa
5.
Candrabhaya Singa Warmadewa – (960-975)
6. Janasadhu
Warmadewa
7. Sri
Wijayamahadewi
8.
Dharmodayana Warmadewa (Udayana) – (988-1011)
9. Gunapriya
Dharmapatni (bersama Udayana) – (989-1001)
10. Sri
Ajnadewi
11. Sri
Marakata – (1022-1025)
12. Anak
Wungsu – (1049-1077)
13. Sri
Maharaja Sri Walaprabu – (1079-1088)
14. Sri
Maharaja Sri Sakalendukirana – (1088-1098)
15. Sri
Suradhipa – (1115-1119)
16. Sri
Jayasakti – (1133-1150)
17. Ragajaya
18. Sri
Maharaja Aji Jayapangus – (1178-1181)
19.
Arjayadengjayaketana
20. Aji Ekajayalancana
21. Bhatara
Guru Sri Adikuntiketana
22.
Parameswara
23.
Adidewalancana
24. Mahaguru
Dharmottungga Warmadewa
25.
Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
26. Sri
Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) – (1332-1343)
27. Dalem
Tokawa (1343-1345)
28. Dalem
Makambika (1345-1347)
29. Dalem
Madura
2.3. Sisa-sisa peninggalan dari kerajaan
Bedahulu
Perlawanan
kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap
melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa
(Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara
adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta
di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di
Kabupaten Buleleng.
Beberapa obyek wisata yang dianggap
merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung,
Samuan Tiga, Goa Gajah, termasuk didalamnya juga Pura Bukit Sinunggal.
2.4. Pura Bukit Sinunggal
Pura Bukit
Sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggian kurang lebih 600 meter
diatas permukaan laut. Untuk sampai di utama mandala pura, kita harus menaiki
113 anak tangga sepanjang kurang 300 meter.
Menurut
penuturan Pemangku Pura, para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus
terlebih dahulu membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, kemudian ke Pura
Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit
Sinunggal.
Sebelum
sampai di utama mandala, di areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar
dengan dua buah apit lawang di kanan kirinya.Di pelataran ini terdapat sebuah
pelinggih yang disebut dengan pelinggih empulawang, sebagai stana bhtara ratu
bagus manik ulap. Sebelum menuju pura utama, hendaknya kita terlebih dahulu
menghaturkan sembah di pelinggih ini. Secara sekala, pelinggih ini merupakan
penjaga, sebelum memasuki areal tersuci pura.Dari areal ini kita dapat menaiki
beberapa buah anak tangga yang akan mengantarakan kita menuju utama mandala. Di
tengah perjanan, berdiri sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih lebuh.
Fungsi pelinggih ini adalah pengayatan ke bhatara segara.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit, kita akan sampai di areal utama
mandala pura bukit sinunggal.Sebelum masuk ke areal utama mandala, di sisi
kanan pura berdiri sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan
pura. Di sebelah wantilan terdapat sebuah pohon besar, dengan sebuah pelinggih
aling aling, yang berfungsi sebagai penjaga. Melewati sebuah candi bentar, kita
akan memasuki utama mandala pura bukit sinunggal. Suasana di mandala ini terasa
begitu sejuk dan begitu tenang. Naungan beberapa pohon besar, semakin
menguatkan kesan sakral kental dengan aroma kesucian.
Dengan luas
sekitar dua puluh are, pelataran utama mandala pura bukit sinunggal dihiasi
beberapa buah pelinggih, termasuk pelinggih utama pura. Berada di utama
mandala, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah meru tumpang tuju,
yang dikelilingi tembok penyengker. Meru ini merupakan pelinggih pokok pura,
stana dari ida ratu pucak sinunggal atau bhatara lingsir, yang bergelar Ida
ratu manik astagina, sekaligus merupakan penguasa delapan penjuru mata angin.
Adanya tembok penyengker yang mengelilingi meru bukannya tanpa alasan. Jelas
ini menunjukkan bahwa tidak semua sembarang orang boleh memasuki areal meru,
kesucian hati dan fikiran merupakan syarat mutlak untuk memuja beliau disini.
Di sebelah
meru, berdiri sebuah padma yang merukan lingga stana Ida Hyang Pasupati. Tepat
di depan padma, berdiri sebuah phon beringin besar dengan pelinggih yang ada
dibawahnya sebagai stana ratu ayu mas melanting. Di sebelah pohon beringin,
berdiri sebuah pelinggih sebagai pengayatan ratu gede dalem ped, dan pelinggih
ratu ngurah tangkeb langit atau ratu wayan tebeng.Di sisi kanan meru berdiri
beberapa pelinggih sebagai pengayatan sapta dewata yaitu pura lempuyang,
besakih, batur, batukaru, andakasa, pucak mangu, dan beratan.Di mandala ini
terdapat sebuah arca yang merupakan pengayatan ke segara majapahit.
Jeroan pura
juga dilengkapi oleh beberapa bangunan pelengkap seperti gedong penyimpenan,
bale gong, pesamuan dan bale dana punia.Piodalan adalah upacara pemujaan
kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana pemerajan,
pura kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu.
Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau
pemelaspas dan ngenteg linggih.Perhitungan piodalan di pura bukit sinunggal
dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada
purnamaning kapat, atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer
selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah.
Pura bukit
sinunggal merupakan pura dengan masyarakat pangempon yang cukup besar.
Pangempon pura ini berasal dari 11 desa, yang ada di kecamatan kubu tambahan,
diantaranya adalah dari desa tajun, tunjung, depa, bayad, sembiran, pacung,
bangkah, tamblang, tangkid, mangening, dan kelampuak. Di desa tajun sendiri
pangempon pura berjumlah hampir 1500 kepala keluarga. Pangempon pura, merupakan
penyangga utama pura, baik itu dari upakara dan upacara yang dilaksanakan
rutin. Pemugaran pura yang dilaksanakan tahun 1990, merupakan swadaya dari
masyarakat pangempon yang menghaturkan dana punia. Pura bukit sinunggal
merupakan salah satu pura yang sangat sacral. Menurut penuturan mangku pura,
bila akan terjadi bencana besar dari meru akan memancar sinar merah terang dan
beberapa kali telah terbukti.
Tak heran
jika banyak pemedek yang sengaja datang dari jauh untuk dapat tangkil di pura
ini. Banyak Pemedek yang datang ke pura ini bermula dari mimpi mimpi. Sebagian
datang untuk memohon obat maupun kesejatraan.Masyarakat yang datang ke pura
bukit sinunggal berasal dari berbagai kalangan, dari pejabat sampai wisatawan
asing yang menerima bisikan dari mimpi. Keberadaan pura bukit sinunggal sangat
disucikan oleh masyrakat, ini terbukti dengan tidak diperbolehkannya wisatawan
asing memasuki areal pura, kecuali akan melakukan
persembahyangan.Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat baik
untuk melakukan meditasi, vibrasi suci yang mengalir kuat memancarkan kedamaian
di setiap raga yang berada di parahyangan ini.
Ada satu hal
menarik terkait dengan keberadaan Pura Bukit Sinunggal. Di pura ini pendiri
kota Singaraja, Ki Barak Panji Sakti, pernah mengucapkan kaul. Kisahnya dimulai
saat Panji Sakti hendak menyerang Blambangan pada abad ke-10. Ketika itu,
menurut sejarah, dalam perjalanan menuju Blambangan, Panji Sakti kehilangan
arah di lautan dan tidak melihat apa pun. Dalam kepanikan itulah ia memohon
kepada Ida Batara Lingsir Manik Astagina Bukit Sinunggal agar diberi petunjuk
jalan agar tidak tersesat. Untuk itu dia berkaul akan mengaturkan 6 ekor
kerbau.
Selain itu,
Pura Bukit Sinunggal juga sering disebut “Besakih”-nya Buleleng lantaran semua
pelinggih yang ada di Besakih terdapat pula di pura ini. Menurut Jro Mangku,
hal tersebut dikarenakan alasan teknis. Pada zaman dulu karena kesulitan
kendaraan, masyarakat Bali Utara menemui hambatan bila hendak menuju Pura
Besakih. Padahal mereka harus melaksanakan upacara meajar-ajar usai upacara
ngaben ke Pura Besakih, Karangasem. Untuk mengatasi kesulitan perjalanan itu,
dibuatkanlah pelinggih seperti di Besakih agar warga Bali Utara bisa
menuntaskan upacaranya di Tajun saja.
BAB III
PENUTUP
Demikian
makalah yang penulis dapat penulis kerjakan untuk memperlengkap makalah ini
penulis mencantumkan Bab III yaitu Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan
saran yang didapat dari Bab – bab sebelumnya.
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
a. Pura
Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali
Utara, Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Pura ini merupakan salah
satu sisa-sisa peninggalan Kerajaan Bedahulu. Berdasarkan prasasti Raja Sri
Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu
disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa
Indrapura kini disebut Desa Depaa. Sedangkan yang memelihara Pura Bukit Tunggal
itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat tokoh-tokoh masing-masing Mpu
Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri.
b. Pura Bukit
Sinunggal merupakan salah satu peninggalan sejarah dimana diperkirakan pura ini
ada pada masa dimana sebuah kerajaan yang bernama “Kerajaan Bedahulu”
berkembang dan mencapai kejayaannya. Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah
kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki
pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar,
Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti
Warmadewa.
c. Pura
Bukit Sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggian kurang lebih 600
meter diatas permukaan laut. Terdapat sebanyak 113 anak tangga sepanjang kurang
300 meter agar bisa mencapai utama mandala Pura Bukit Sinunggal. Di areal
paling bawah, terdapat sebuah candi bentar dengan dua buah apit lawang di kanan
kirinya. Terdapat beberapa pelinggih berupa meru ataupun biasa seperti
Pelinggih Ida Hyang Pasupati, Ratu Gede Macaling, dsb. Dengan luas areal
sekitar dua puluh are dengan lingkungan sejuk, asri serta banyak ditumbuhi
berbagai macam tumbuhan pegunungan yang menambah keindahan pura.
3.2. S a r a n
Adapun beberapa saran yang saya
ajukan diantaranya :
a. Bagi
generasi muda agar dapat menjaga dan melestarikan segala bentuk peninggalan
bersejarah kita. Seperti halnya Pura Bukit Sinunggal dimana disamping sebagai
tempat ibadah juga merupakan salah satu tempat bersejarah. Kita senantiasa
menjaga kesucian pura itu sendiri baik kebersihan secara sekala maupun niskala.
b. Bagi
masyarakat yang berada disekitar pura maupun yang akan melaksanakan ibadah atau
juga berwisata ke Pura Bukit Sinunggal setidaknya harus taat dengan aturan adat
setempat yang mengharuskan agar memakai setidaknya kain dan selendang apa bila
memasuki kawasan atau areal pura. Juga diharapkan agar menjaga kebersihan pura
baik niskala ataupun sekala.
DAFTAR
PUSTAKA
Ginarsa,
Ketut. 1979. “Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti”. Singaraja : Balai Penelitian
Bahasa.
http://id.google.co/tradisi-lisan-dalam-penulisan-sejarah-lokal.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar